Jakarta, INVENTORI.CO.ID – Saat ini, pemerintah sedang menyusun beleid terbaru berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Aturan penerapan feed in tariff ini dinanti para pelaku usaha EBT dalam menggairahkan usaha.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi menuturkan para pelaku usaha masih mengharapkan agar penerapan feed in tariff diberlakukan demi mempercepat waktu pengembangan.
“Saat ini usulan di dalam Perpres adalah HPT (harga patokan tertinggi). Pengembang perlu menegosiasikan harga jualnya dengan PLN setelah program eksplorasi selesai. Kalau feed in tariff, harga sudah pasti di depan, tanpa negosiasi,” akunya, kemarin.
Dia menjelaskan, dalam program eksplorasi biasanya pengembang bisa merogoh kocek hingga US$ 100 juta bergantung pada kapasitas pembangkit. Kebijakan negosiasi harga jual dengan PLN dinilai tidak memberikan kepastian pasalnya biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi sudah terhitung besar.
Sementara Ketua Asosiasi Perusahaan Listrik Tenaga Air (APLTA), Riza Husni menyampaikan draft Perpres tersebut sudah dibahas oleh pemerintah bersama dengan asosiasi kelistrikan EBT lainnya. “Aturan itu lebih baik dari yang sekarang. Khususnya untuk pembangkit skala kecil 10 MW,” terangnya
Hanya saja, dirinya menegaskan, aturan tersebut bisa terlaksana sepanjang PLN berkeinginan menggunakan EBT.
Baca juga: 18 Tahun, Geo Dipa Energi, Hasrat Tuntaskan EBT dengan Terobosan saat Kenormalan Baru
Wakil Direktur Utama Terregra Asia Energy (TGRA), Lasman Citra bilang kehadiran regulasi yang dapat mendorong investasi EBT telah dinantikan sejak hadirnya Peraturan menteri ESDM Nomor 50/2017.
Kendati demikian, salah satu ketentuan mengenai biaya pokok penyediaan (BPP) sebesar 85% dinilai kurang menarik bagi investor. Di sisi lain, dia mengungkapkan ada sejumlah poin yang kerap jadi penghambat pengembangan investasi, misalnya tarif yang kurang menarik, konsep Built, Own, Operate and Transfer (BOOT) dan Power Purchase Agreement (PPA) yang tak bankable.
“Juga kurangnya support dari PLN terhadap energi baru terbarukan,” ujar Lasman dilansir dari kontan. (Feb)