Jakarta – Sejumlah pihak mengajukan uji materi (judicial review) atas UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Perubahan UU Minerba). UU ini dianggap melanggar bertentangan dengan sila kelima Pancasila dan Pasal UUD 1945. Di sisi lain, pemerintah tetap melanjutkan pembahasan pembuatan aturan dari UU ini.
Permohonan ini diajukan oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erza Rosman Djohan; Ketua PPUU DPD Alirman Sori; Anggota DPD Tamsil Linrung; Ketua Perkumpulan Serikat Islam Hamdan Zoelva; IRESS Marwan Batubara; IMW Budi Santoro; Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Ilham Rofki Nurfajar; dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia M. Andrean Saefudin.
Perlu diketahui, DPR telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada pertengahan Mei silam, tepatnya 12 Mei 2020. Kemudian, Presiden menandatangani Presiden pada 10 Juni 2020 dan langsung diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam lembaran negara di hari yang sama.
Aturan ini lantas menuai polemik karena proses pengesahan yang dinilai begitu cepat, sejumlah pihak kini mengajukan gugatan uji materi terhadap UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu anggota kuasa hukum, Ahmad Redi mengatakan, uji formil diajukan untuk menggugat proses pembentukan dan pembahasan UU Minerba yang dinilai cacat, tidak transparan, dan menyalahi ketentuan perundang-undangan.
“Terbentuknya UU Nomor 3 Tahun 2020 ini mengandung potensi moralitas hukum formil dan materiil yang jahat bagi pembangunan nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara,” katanya.
Para pemohon yakin aturan ini mengandung potensi moralitas hukum formil dan materil yang jahat bagi pembangunan nasional bidang pertambangan mineral dan batubara yang bertentangan Sila Kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945.
Redi menjelaskan, RUU Minerba inisiatif DPR ini telah disusun draftnya sejak DPR periode 2014-2019 dan hingga berakhirnya masa jabatan DPR periode lalu belum ada pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba. Padahal, Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM.
“Seluruh pembahasan RUU Minerba dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di Gedung DPR. Pembahasan RUU dilakukan melalui rapat kerja dan rapat Panitia Kerja (Panja) yang seharusnya terbuka untuk umum. Padahal, sesuai UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Tata Tertib DPR yang menyatakan semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, bisa tertutup hanya apabila terkait dengan rahasia negara atau kesusilaan,” tuturnya.
Dia menilai pembahasan dan pengesahan RUU ini menjadi UU telah melanggar Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terkait asas keterbukaan. Dalam pembentukan peraturan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penerapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Untuk itu, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya memberi masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
“RUU Minerba ini kilat dan sangat dipaksakan, dengan materi yang sangat banyak terdiri dari 938 DIM dan lebih dari 80 persen materi perubahan. Namun, hanya dibahas dalam waktu sekitar 2 minggu, dilakukan secara tertutup di hotel tanpa adanya partisipasi masyarakat,” kata dia.
Selain itu, dalam pembahasan RUU Minerba, sama sekali tidak terdapat audiensi dengan stakeholders, tidak ada penerimaan aspirasi dari kelompok masyarakat, tidak melibatkan pakar, dan perguruan tinggi, tidak dilaksanakan rapat dengan pendapat umum, serta tidak ada pengambilan aspirasi ke daerah. Bahkan, beberapa kelompok masyarakat dan perguruan tinggi yang mengajukan permohonan audiensi untuk memberikan masukan diabaikan.
Pembahasan RUU ini juga tidak melibatkan DPD. Padahal, Pasal 22D UUD Tahun 1945 dan Pasal 249 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 serta Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, DPD mempunyai kewenangan membahas RUU yang berhubungan dengan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Karena itu, pembahasan RUU Minerba secara konstitusional harus dibahas dengan DPD.
Terkait hal ini, Sekretaris Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Heri Nurzaman. Dirinya merasa pengesahan UU Minerba 3/2020 bersama DPR sudah sesuai proses pembahasan dalam koridor ketentuan yang berlaku.
“Setiap orang punya hak menggugat. Kalau tidak sesuai (aturan) kenapa bisa keluar (terbit UU Minerba baru),” sebutnya seperti dilansir dari Kontan.co.id, Jumat (10/7/2020).
Memang dalam proses pembahasan UU Minerba tersebut dilakukan Komisi VII DPR bersama lima kementerian yang mewakili pemerintah, yakni Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Heri bahkan meyakinkan, saat ini pemerintah sedang menyusun sejumlah rancangan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU Minerba 3/2020 tersebut. “Tetap jalan (pembahasan RPP),” sergahnya. (HO/Nap)