Jakarta – Perubahan regulasi yang masih terombang-ambing dan masih banyak berubah membuat para investor di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) ragu. Terlebih belum rampungnya revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyebut, pelaku usaha migas saat ini masih ragu berinvestasi di Indonesia. Alasannya, transformasi regulasi yang sedang terjadi menimbulkan ketidakpastian aturan. Baginya, hal ini malah membuat banyak investor yang bingung.
“Mereka belum memahami perubahan skema kontrak dari cost recovery (pengembalian biaya operasi) menjadi gross split. Dalam skema baru itu bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor diperhitungkan di muka,” sebutnya di Jakarta, Selasa malam (27/3).
Terlebih, saat ini pemerintah dan atas hak inidiatif DPR RI juga lagi mempersiapkan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang migas.
“Investasinya penuh risiko, regulasinya berubah-ubah, jadi tambah bingung,” sergah Dwi.
Dia menilai, investor memang butuh kepastian karena biaya pengeboran migas membutuhkan uang yang tidak sedikit. Dwi mengatakan, untuk di darat dananya sekitar US$ 2 miliar sampai US$ 4 miliar.
“Kalau di laut, nilainya bertambah lagi menjadi US$ 10 miliar sampai US$ 20 miliar. “Biayanya tinggi, tapi belum jelas hasilnya,” ujarnya.
Namun, Dwi optimistis setelah revisi rencana pengembangan (PoD) Blok Masela disetujui oleh pemerintah, minat investor akan kembali lagi. Ia melihat potensi migas Indonesia masih besar. Ada 128 cekungan migas, baru 54 yang dikembangkan. Nilai investasi hulu migas Indonesia pada 2017 mencapai US$ 9,33 miliar. Jumlah tersebut terdiri dari US$ 9,18 miliar untuk Wilayah Kerja (WK) eksploitasi dan US$ 180 juta Wilayah Kerja (WK) eksplorasi. Realisasinya di 2018 menjadi US$ 12,5 miliar. Walaupun naik sekitar 34% dibanding tahun sebelumnya tapi angka itu tak mencapai target US$ 17,04 miliar. (Nap)