Sebagai orang dekat Prabowo Subianto, Glenny Kairupan adalah satu tokoh yang turut membidani lahirnya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Ia pun didapuk sebagai Dewan Pembina sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sulawesi Utara (Sulut).

Di mata rekannya; Kolonel Inf. (Purn) Suratno yang tak lain senior sekaligus pernah menjadi bawahan Glen, merasa sejauh ini sosok kepemimpin Glen yang persuasif sangat pas dengan kepemimpinan masa kini. “Pak Glen punya loyalitas kepada negara dan selalu mengikuti aturan. Saya doakan semoga berhasil,” jawabnya saat ditanya soal pencalonan Glen sebagai calon Wakil Gubernur Sulut.
Glen sendiri sadar usianya tak lagi muda sehingga mengamini keterlibatannya dalam catur perpolitikan sebagai bentuk pengabdian, bukan lagi mengejar jabatan. Kepada majalah Inventori beberapa waktu lalu di Jakarta inilah pemaparannya:
Bagaiman cerita Anda bisa mendampingi Maya Rumantir sebagai calon Wakil Gubernur Sulut?
Sebenarnya yang telepon pertama kali itu Pak Hashim Djojohadikusumo (adik kandung Prabowo Subianto). Ditanya apakah siap mendampingi Ibu Maya. Saya bilang kalau tugas tentu siap. Juga ditelepon Pak Prabowo. Saya itu teman selama 45 tahun dengan Prak Prabowo, tapi di partai dia adalah pemimpin saya.
Saya juga sudah kenal lama dengan Pak SBY. Mereka tahu sebelumnya saya dosen Lemhanas. Ketika mereka mencalonkan saya jadi calon wakil gubernur, jadi saya pikir ini adalah karir terakhir saya untuk membenahi Sulut, tanah kelahiran saya. Bisa dibilang sebagai panggilan.
Kapan itu diteleponnya?
Baru Juli tahun ini. Jadi masih baru..hehe.
Artinya tidak ada persiapan?
Enggak ada sama sekali persiapan. Tipe seperti saya ini kalau dari dulu sudah tidak ingin ini itu. Saya mengalir saja.
Wow Anda sepertinya nothing to lose. Kalau kalah, tidak terpilih tidak masalah?
Jadi begini, kalau saya ini misi tugas itu harus maksimal. Harus sukses, kecuali kalau setengah-setengah namanya menghianati. Kita harus me-manage emosi. Kalau tidak, maka akan menghantam diri sendiri. Karena itu, kalau saya punya suatu keinginan kemudian tidak tercapai berarti Tuhan tidak berkehendak. Tidak usah melakukan berbagai cara. Santai saja. Karenanya mana kala saya mendapat tugas harus sukses.
Sebagai tokoh Nasrani bagaimana Anda terjun dalam dunia perpolitikan?
Kalau saya tentu terbeban. Kepada bawahan saja, saya berusaha mensejahterakan. Jadi, yang di atas itu mau nilai apa terserah, karena dasarnya kebaikan akan berbuah kebaikan. Saya bilang sama Ibu Maya untuk bikin rakyat itu sejahtera caranya lewat perubahan.
Lalu apa program Anda dalam membangun Sulut?
Tentu pertama harus menyesuaikan dengan program pemerintah, yang saat ini lewat Nawacita. Poin-poin itu lalu dihubungkan dengan visi misi kami yang memang tidak beda jauh dari segi Partai Gerindra dan Demokrat.
Kami akan belanja masalah. Apa yang diinginkan oleh masyarakat Sulut adalah hal pertama didengar. Tidak maunya sendiri. Visinya sederhana, yakni bagaimana mensejahterakan masyarakat. Lalu break down pada misi.
Misalnya sinergi antara pemberantasan korupsi dan pembentukan moral. Pendidikan agama itu masih perlu dilengkapi dengan pendidikan praktis yang diterima mulai dari tingkat pendidikan bawah. Harus ada pelaksanaan dengan istilah tabu dengan korupsi. Sehingga, semua berjalan.
Anda mendekatkan pada pembentukan moral?
Inilah kejelasan komitmen kami terhadap bangsa. Jadi kepemimpinan itu kita dapat support oleh moral yang benar. Sehingga memberikan satu contoh yang baik.
Bagaiman pula Anda melihat sosok Maya Sumantir sendiri?
Saya melihat beliau cukup berani untuk menyatukan konflik-konflik. Menyatukan yang pecah, keributan. Dia punya keberanian untuk jujur dan untuk meningkatkan potensi daerah. Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi, beliau ikut terlibat untuk membantu seperti di Aceh, Ambon, Jayapura, dan Timtim.
Pertumbuhan rohaninya juga luar biasa. Waktu di Timtim dia berdoa dan kebaktian semalam suntuk, bahkan juga berani turun gunung sendirian. Kharismanya membuat saya mengerti bahwa memang perlu turun tangan untuk orang-orang yang benar-benar memerlukan dan berkorban.
Apakah benar pencalonaan Anda dan Maya tanpa mahar kepada parpol?
Tidak ada itu. Partai Gerindra maupun Partai demokrat itu benar-benar nasionalis yang ingin membentuk pemimpin-pemimpin masa depan yang bersih dan bertanggung-jawab. Menjunjung pancasila sebagai rasionalis sesuai UU ’45. Saya lihat Pak Prabowo terus bercita-cita ingin mewujudkan Pancasila yang selalu menginginkan rakyat Indonesia itu sejahtera dan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri dengan sistem ekonomi kerakyatan.
Kalau kita melihat sistem dmokrasi ala liberal sangat berbeda dengan sistem demokrasi pancasila yang diterapkan oleh Orde Baru. Di era Orde Baru, kita tahu SDM (sumber daya manusia) belum merata sehingga pemerintah menerapkan sila keempat, yang menekankan pada keterwakilan. Maka pemerintah memilih orang-orang yang punya pengalaman, punya pendidikan, punya kredibilitas, dan loyalitas untuk ditempatkan di daerah-daerah tertentu agar dipilih oleh rakyat. Memang kesannya di drop ke bawah.
Ini berbeda dengan sistem liberal yang one man one vote. Setelah reformasi terjadi perubahan paradigma, yaitu bukan lagi keterwakilan tetapi menjadi keterpilihan. Karena partai diberikan kebebasan untuk menerima siapa saja. Dengan sistem keterbukaan saat ini, entah dari mana orang tersebut asalkan punya duit bisa masuk partai. Setelah itu lalu dipasarkan kepada masyarakat. Jadi bukan lagi keterwakilan, tapi keterpilihan.
Apa yang terjadi? Birokrat, peneliti, dan ahli seperti doktor atau insyinyur kalah dengan orang yang punya duit banyak. Entah berpendidikan atau tidak yang penting punya uang. Akibatnya seperti saat ini, bagaimana bisa memilih tokoh yang benar, kalau syarat untuk jadi saja awalnya harus bayar. Maka otomatis kalau sudah terpilih, dia berusaha mengumpulkan modal yang sudah keluar dengan berbagai cara, sehingga akhirnya bisa dilihat banyak pemimpin daerah seperti bupati, walikota, anggota DPR atau DPRD yang ditangkap KPK atau kejaksaan.
Jadi perbedaan dulu yang mengunakan sistem semi otoriter yang diutamakan adalah hasil. Caranya nomor dua. Sementara dalam sistem demokrasi hasil nomor dua, karena yang terpenting adalah proses.
Oleh sebab itu, saya sebagai kader Partai Gerindra itu menganut paham politik yang bukan seperti umumnya berlaku seperti politik kotor. Kami mencari politik sebenarnya yang dicetuskan oleh Aristoteles bahwa politik adalah usaha bersama dari setiap warga negara untuk memperbaiki kehidupannya. Nah di Partai Gerindra kami tak mengenal elite politik, tapi kami menyebutnya pejuang politik. Itulah perbedaannya.
Saat ini otonomi seakan begitu membesar, bahkan terkesan membabi buta melakukan pemekaran. Pandangan Anda soal ini?
Memang otonomi daerah sudah berjalan, kita tak bisa mundur lagi. Tapi menurut saya awalnya harus ada proyek percontohan dulu khususnya daerah yang PAD-nya itu grafiknya meningkat. Jadi, secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut dilakukan pemekaran.
Mengapa? Karena ada daerah mungkin yang minus dan satu daerah yang surplus. Tidak bisa langsung disamakan. Pandangan saya sebenarnya jangan melakukan secara keseluruhan membuka otonomi tapi lihat dulu mana yang minus dan istilahnya nanti dibantu dengan yang surplus. Sekarang malah semua berlomba-lomba untuk melakukan pemekaran.
Untuk Sulut sendiri bagaimana persiapan soal pasar bebas ASEAN tahun depan?
Kita harus investasi produk-produk unggulan kita untuk menjadi modal komoditi bangsa kita. Kalau memang sudah mampu mandiri dan mengelola sumber daya alam jadi produk, maka bisa barter atau jual ke luar. Itu membawa keuntungan. Tapi kalau mentahnya dijual lalu setelah diolah barang jadi lalu kita beli lagi tentu tidak menguntungkan.
Manado menjadi salah satu kota yang membuka peluang investasi besar-besaran. Apa tanggapannya?
Kalau saya lihat pemerintah sering memberikan investasi itu kepada mall-mall atau hotel. Coba kalau berikan investasi itu kepada petani yang justru kesulitan.
Jadi visinya itu justru untuk petani atau pengusaha kelas menengah ke bawah. Sehingga sumber daya alamnya bisa dikembangkan. Saya cenderung bagaimana bisa memberdayakan masyarakat untuk bisa survive, sehingga mandiri tak perlu lagi minta-minta. Sekarang malah banyak hotel yang dibangun tapi enggak bisa jalan karena tidak ada listrik. Jadi, kembali lagi pemberdayaan pada moral sehingga sesuai kebutuhan dan memang perlu. Tidak perlu bermewah-mewah. (Majalah Inventori)