INVENTORI.CO.ID – penembakan oknum TNI Sersan Dua (Serda) YH kepada seorang tukang ojek, Japra (40) hingga meninggal dunia di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11/2015) mendapat reaksi dari para legislator serta mahasiswa.
Anggota Komisi I DPR RI, Charles Honoris mengecam aksi penembakan warga sipil tersebut sebagai bentuk kelalaian atasan dan tindakan indispliner. “Peristiwa penembakan masyarakat sipil yang dilakukan oknum Kostrad itu perlu didalami secara serius,” sebutnya, kemarin.
Dirinya menilai dari kronologis peristiwa yang terjadi di Jalan Mayor Oking, tepatnya di depan SPBU Ciriung, Cibinong, Kabupaten Bogor. Korban yang mengendarai motor Supra B-6108-PGX berkendara secara zig-zag hingga menyerempet mobil pelaku yakni Honda CRV F-1239-DZ. Akibatnya pelaku mengejar korban hingga di depan SPBU SPBU Ciriung.
Tak lama kemudian, YH mengeluarkan senjata api jenis FN dan menembak bagian kepala korban. Korban pun terjatuh dan meninggal dunia. Â Sementara seorang saksi, Fuad mengungkap hal yang sedikit berbeda. Saat itu, ia berceita, pelaku datang dari arah Cibinong menuju arah Sentul. Saat pelaku hendak berputar balik, sepeda motor yang dikendarai korban menyalip dari arah kiri sehingga menghalangi laju kendaraan pelaku.
Tak terima, pelaku kemudian memberhentikan korban tepat di depan SPBU Ciriung, Cibinong, dan terlibat adu mulut dan saling dorong di antara keduanya. Fuad melanjutkan, tiba-tiba pelaku mengeluarkan senjata api jenis FN dan menembak bagian kepala korban.
Charles mempertanyakan apakah pelaku dalam rangka bertugas atau tidak? “Ada oknum di luar barak kesatuan dengan membawa senjata api saja sudah tidak benar. Apalagi senjata itu digunakan menembak warga sipil. Ini pelanggaran berat,” katanya.
Charles mendesak Polisi Militer TNI serius dalam menyelidiki tindakan indisipliner yang berujung pada pidana berat ini. Bahkan, dirinya meminta atasan pelaku juga dipanggil guna diperiksa untuk mempertanggungjawabkan kelalaian yang mengakibatkan rakyat sipil meninggal dunia tersebut.
Selain itu, Charles berpendapat TNI harus memperhatikan syarat psikologis atau kejiwaan anggotanya yang diperbolehkan memegang senjata api. Sebab menurutnya, peristiwa kekerasan terhadap sipil ini bukanlah yang pertama kali. “Mabes TNI harus memroses hukum anggota Kostrad itu dan melakukan langkah-langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang. Menurut survei, lembaga TNI dipercaya publik, tapi peristiwa ini mencoreng hal itu,” ujar dia.
Tugas intelijen keamanan pun mendapat kritikan TB Hasanuddin, yang juga dari Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan. Baginya, peristiwa ini menjadi koreksi atas RUU Kamnas. Terutama pada pasal 22 Â ayat 1 RUU Kamnas yang masih tetap menggunakan penyelenggaraan Keamanan melibatkan peran aktif intelijen TNI”. Mestinya dibuat jelas mana intelijen yang boleh dan yang tidak,” kritiknya.
Pensiunan jendera bintang dua TNI juga meminta Panglima TNI menyelenggarakan operasi militer menurut fungsi TNI saja. Sehingga, pada akhirnya tak harus ikuti kebijakan Dewan Kamnas. Kalau pasal seperti ini, nantinya dia (Panglima TNI) bisa digunakan melakukan apa saja, termasuk hal yang keluar dari tugas militer sesuai UU,” sebutnya.
Sementara Bimo, mahasiswa fakultas hukum Universitas Trisakti merasa RUU Komnas tak relevan. ” Belum disahkan saja, RUU Kamnas sudah ada korban jiwa, apa lagi TNI diberi kewenangan dalam keamanan nasional bisa ditembak semua rakyat dijaman demokrasi ini!” imbuhnya. Red