
DUMAI, inventori.co.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Santak Unding menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus dugaan penganiayaan di Kota Dumai. Hal itu disampaikan langsung oleh kuasa hukum korban sekaligus Direktur LBH Santak Unding, M Hasiholan Malau, SH, yang menyebut proses hukum dalam perkara tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selepas sidang keputusan di Pengadilan Negeri Dumai, Jumat (19/9/2025), Hasiholan menyebutkan, kasus ini seharusnya bisa dibuktikan dengan mudah karena korban, Syahdenan telah melampirkan bukti visum, keterangan saksi, hingga rekaman CCTV. Namun, perjalanan perkara justru menimbulkan tanda tanya besar mengenai arah penegakan hukum.
Pergeseran Pasal yang Dinilai Merugikan Korban
Dalam keterangan resminya, Hasiholan menilai ada kejanggalan sejak awal ketika pasal yang dikenakan terhadap pelaku berubah. Menurutnya, unsur pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan sudah terpenuhi. Namun dalam perjalanannya, kasus justru dijerat dengan pasal 352 ayat (1) KUHP, yang mengategorikan penganiayaan sebagai tindak pidana ringan.
“Penerapan pasal ini jelas merugikan korban, karena meringankan hukuman bagi pelaku. Padahal bukti yang ada sudah cukup untuk menjerat dengan pasal yang lebih berat,” ungkap Hasiholan.
Pertanyaan Besar: Penyidik Jadi Jaksa Penuntut?
Hasiholan juga menyoroti jalannya persidangan yang dianggap tidak sesuai prosedur. Hasiholan menyebut bahwa tuntutan terhadap pelaku justru disampaikan langsung oleh penyidik kepolisian, bukan Jaksa Penuntut Umum.
“Ini praktik yang menyimpang. Dalam sistem hukum kita, jaksa memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan penuntutan, bukan penyidik. Mengapa Kejaksaan Negeri Dumai tidak hadir? Pertanyaan ini harus dijawab,” tegasnya.
Menurutnya, ketiadaan jaksa dapat menimbulkan dugaan adanya kelalaian atau bahkan “permainan” dalam proses hukum, yang pada akhirnya merugikan korban.
Vonis Ringan Dinilai Tak Memberi Efek Jera
Putusan majelis hakim juga mendapat sorotan. Pelaku divonis 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan, sehingga tidak perlu menjalani hukuman badan.
“Vonis ini sangat ringan, tidak memberikan efek jera, dan berpotensi dimaknai sebagai lampu hijau bagi pelaku kejahatan lain,” ketus Hasiholan.
Dia menambahkan, pihaknya sebagai kuasa hukum merasa minim mendapat kesempatan untuk melakukan pembelaan di persidangan. Hal ini, menurutnya, menunjukkan tidak adanya kesetaraan dalam proses hukum.
Kritik untuk Aparat Penegak Hukum
LBH Santak Unding menegaskan bahwa kasus ini menjadi kritik terhadap aparat penegak hukum di Dumai, baik kepolisian maupun kejaksaan.
“Keadilan bukan sekadar slogan. Harus ada keseriusan agar setiap warga negara mendapatkan hak yang sama di hadapan hukum,” pungkas Hasiholan.