INVENTORI.CO.ID – Pandemi menyoroti dua tantangan besar dalam sistem perawatan kesehatan Indonesia – waktu tunggu yang lama dan kekurangan staf rumah sakit. Meskipun Indonesia secara bertahap keluar dari situasi pandemi, nyatanya kita belum terlepas dari tantangan ini. Bahkan, seiring berjalannya waktu, tantangan ini akan terus berlanjut seperti yang kita saksikan munculnya penyakit-penyakit yang sedang meningkat tajam, seperti kasus kanker dan penyakit kardiovaskular yang juga dikontribusikan oleh populasi menua serta meningkatnya penyakit tidak menular (PTM).
Di wilayah Asia dan Pasifik, PBB memperkirakan persentase mereka yang berusia 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 13,6% dari total populasi pada 2020 menjadi 25% pada tahun 2050 . Indonesia sendiri diperkirakan akan meningkat dari 10,9% dari total populasi pada 2020 menjadi 20,5% pada tahun 2050 . Kita melihat adanya peningkatan prevalensi PTM, seperti penyakit kardiovaskular, kanker, dan diabetes, yang 74% merupakan penyebab dari total kematian secara global . Seiring dengan bertambahnya populasi menua dan meningkatnya PTM, permintaan pasien pun akan meningkat, yang menempatkan beban yang lebih besar pada sistem perawatan kesehatan dan menyebabkan waktu tunggu pasien menjadi lebih lama.
Di waktu yang sama, meskipun kita sering mendengar tentang berbagai opsi pengobatan, diagnosis dan pemantauan penyakit seringkali diabaikan. Setiap perawatan sukses dimulai dengan diagnosis yang tepat dan jika rumah sakit tidak mampu mendiagnosa pasien secara efisien dan akurat, ini akan menyebabkan peningkatan waktu tunggu pasien untuk mendapatkan perawatan yang layak, sehingga memperburuk kondisi medis mereka, meningkatkan biaya pengobatan pasien dan menciptakan lebih banyak beban pada sistem kesehatan secara keseluruhan.
Di Indonesia, rata-rata waktu tunggu pasien kanker untuk terdiagnosa bisa mencapai 4-7 hari setelah pasien diperiksa. Sementara itu, secara nasional rata-rata waktu tunggu pasien kanker untuk menjalani radiasi adalah 12 minggu atau tiga bulan . Sekarang pertimbangkan dampaknya, mengingat kondisi saat ini di mana rumah sakit sudah menghadapi kekurangan tenaga kerja yang diperkirakan akan semakin memburuk. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa tenaga kesehatan di Asia Tenggara akan kekurangan 4,7 juta orang pada tahun 2030, sementara menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, Indonesia kekurangan sekitar 160.000 dokter untuk memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1:1000, artinya 1 dokter untuk setiap 1.000 orang .
Berbagai tantangan ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena nantinya akan mempengaruhi kebijakan kesehatan. Sementara inisiatif baru seperti konsep pendidikan spesialis berbasis rumah sakit ditujukan untuk meningkatkan keterampilan pada sektor ini, teknologi dapat menjadi senjata ampuh dalam meringankan beban ini dan mengatasi tantangan ini dalam jangka panjang.
Membuka potensi penuh AI untuk meningkatkan diagnosa, efisiensi kerja, dan biaya
Kecerdasan buatan (AI) telah lama disorot sebagai kunci dalam mengatasi tantangan utama yang dihadapi sistem kesehatan saat ini, dimana AI dapat membantu mengotomatisasi dan mempercepat tugas rutin para ahli kesehatan serta menghasilkan wawasan yang berpusat pada pasien berdasarkan volume data yang besar untuk membantu meningkatkan produktivitas dan meningkatkan hasil bagi pasien. Dalam diagnosis penyakit, teknologi berbasis AI dapat melakukan pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) tiga kali lebih cepat dari biasanya yang membantu mengurangi total waktu pemeriksaan, dan produktivitas departemen serta mengurangi biaya per pemeriksaan – yang pada akhirnya memberi keuntungan bagi pasien. Teknologi AI dalam sistem ultrasound, dapat mengotomatiskan kerja manual dan melakukan pekerjaan berulang dalam pengukuran ultrasound. Bayangkan jika proses yang biasanya membutuhkan waktu 30 menit bisa menjadi hanya 10 menit. Penghapusan durasi 20 menit ini artinya pasien dapat didiagnosa lebih cepat, sehingga mengurangi waktu tunggu keseluruhan dan meningkatkan jumlah pasien yang didiagnosis setiap hari.
Saat mempertimbangkan keunggulan teknologi AI, terlihat jelas bahwa teknologi AI bisa menjadi solusi tepat untuk mengatasi tantangan kesehatan yang dihadapi Indonesia, negara kepulauan yang luas dengan populasi lebih dari 273 juta jiwa. Setiaji, Kepala Kantor Transformasi Digital, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengatakan bahwa “Teknologi AI dalam waktu dekat, mungkin memiliki kemampuan secara efektif mengatasi tantangan kesehatan spesifik yang dihadapi Indonesia saat ini. Melalui AI, praktisi kesehatan dapat memberikan diagnosa dan prognosis yang lebih cepat dan lebih tepat, sehingga mampu meningkatkan proses perawatan pasien dan merampingkan sistem manajemen rumah sakit. Selain itu, AI dapat berkontribusi untuk mengatasi kelangkaan tenaga profesional kesehatan, sehingga mendorong kesetaraan yang lebih besar dalam akses layanan kesehatan di seluruh Indonesia.”
Namun, untuk mengimplementasikan teknologi AI di rumah sakit Indonesia masih banyak hal yang perlu dipersiapkan, antara lain sumber daya manusia, sistem informasi elektronik, peralatan, dan penyedia layanan yang juga mendukung praktik ramah lingkungan.
Menurut Pim Preesman, Presiden Direktur Philips Healthcare Indonesia, “Potensi AI dapat memberikan manfaat sangat besar untuk mempercepat dan meningkatkan diagnosa serta manajemen perawatan penyakit, yang nantinya akan membantu mengurangi tekanan yang dihadapi para staf, mengelola pemrosesan pasien dengan lebih baik, dan pada akhirnya membantu meningkatkan jalur dan pengalaman perawatan pasien.”
Pada konferensi internasional besar terbaru tentang radiologi pada acara European Congress of Radiology (ECR) di bulan Maret, Philips mempresentasikan pendekatan terpadu berbasis Al di berbagai alat diagnostik termasuk MR, CT, sinar-X diagnostik dan ultrasonografi, termasuk teknologi pencitraan generasi mendatang yang memanfaatkan mesin kecepatan canggih Philips dan teknologi rekonstruksi AI yang mendapatkan penghargaan yang mampu meningkatkan kecepatan dan kualitas gambar. Dalam kemitraan dengan Leiden University Medical Center (Leiden, Belanda), Philips berinovasi dengan AI untuk lebih mempercepat dan meningkatkan pemeriksaan MR, dengan tujuan untuk mengurangi waktu pemindaian menjadi kurang dari lima menit dan untuk merekonstruksi gambar MR yang mendetail meskipun pasien atau organ dalam sedang bergerak. Pendekatan ini sudah menunjukkan hasil yang menjanjikan di rumah sakit terkemuka di seluruh dunia.
“Melalui peningkatan pada pekerjaan perawat kesehatan, AI dapat membantu mengatasi masalah kelelahan para staf yang kami saksikan dengan membantu meringankan beban kerja mereka. AI juga dapat memberikan peningkatan terhadap tingkat kepuasan staf dan tingkat retensi. AI dapat mengambil alih tugas manual, mengotomatiskan langkah-langkah tertentu, dan melengkapi pengambilan keputusan profesional kesehatan. Semua upaya ini dapat membantu menghemat waktu dan pada akhirnya mengurangi tekanan pada profesional kesehatan, membebaskan mereka dari tugas tertentu dan memberi mereka waktu untuk kembali merawat pasien. Dengan mendukung para pekerja layanan kesehatan, AI berpotensi meningkatkan layanan perawatan, pengalaman pasien, dan hasil kesehatan secara keseluruhan,” kata Pim.
Menurut Future Health Index Philips 2022, para pemimpin layanan kesehatan di APAC telah menyadari peluang tersebut. Di seluruh wilayah, 82% pemimpin layanan kesehatan memperkirakan bahwa AI akan menjadi investasi teratas dalam 3 tahun ke depan.
AI sebagai alat untuk menciptakan perawatan kesehatan yang ramah lingkungan di Indonesia
Selain meningkatkan pemberian perawatan dan efisiensi di tempat kerja, AI juga dapat berperan dalam menciptakan industri perawatan kesehatan yang lebih ramah lingkungan, khususnya melalui analisis dan prediksi data.
Menurut Pim Preesman, ketika berbicara mengenai peralatan kesehatan, AI dapat membantu memprediksi kapan pemeliharaan diperlukan dengan mengidentifikasi masalah sebelum terjadi, dan memungkinkan para insinyur untuk memantau, menilai, dan menanggapi masalah dari jarak jauh. “Ini bermanfaat bagi lingkungan, karena masa pakai peralatan dapat diperpanjang,” kata Pim. Hal ini berperan dalam menghasilkan limbah yang lebih sedikit serta membangun lingkungan sehat dan bersih yang meningkatkan kesehatan manusia, misalnya berkontribusi terhadap lebih sedikit terjadinya eksaserbasi (perburukan gejala pernapasan akut) dan penyebab penyakit utama yang mungkin memburuk atau polusi udara.
“AI juga mendukung perawatan preventif dan virtual dengan memungkinkan perawat memantau dan berhubungan dengan pasien dari jarak jauh. Ini tidak hanya dapat memberi lebih banyak akses ke perawatan, terutama mereka yang berada di daerah terpencil, tetapi juga menghindari kebutuhan perjalanan dan paparan emisi CO2. Dampak positif yang dapat dilihat adalah bahwa menurut Future Health Index tahun 2022, 1 dari 4 pemimpin layanan kesehatan APAC telah mengidentifikasi penerapan praktik keberlanjutan seperti ini sebagai prioritas utama saat ini. Kami terdorong oleh hal ini, karena kami di Philips sadar akan tanggung jawab kami terhadap masyarakat dan kebutuhan untuk terus menanamkan keberlanjutan lebih dalam lagi dalam cara kami menjalankan bisnis. Ini menggarisbawahi komitmen kami untuk meminimalkan dampak terhadap bumi dengan mengintegrasikan keberlanjutan dan sirkularitas dalam proses inovasi dan desain pada solusi kami,” tambah Pim.
Ketika kami ingin menerapkan lebih banyak AI ke dalam sistem perawatan kesehatan kami, kunci yang harus diingat adalah bahwasanya AI hanya dapat mendukung sebesar pengalaman dan kemampuan manusia.
“Bekerja sama dengan institusi kesehatan dalam ranah transformasi digital juga penting untuk memastikan bahwa teknologi ini berdampak positif pada pasien dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan melalui pemahaman yang lebih baik dan lebih dalam tentang tantangan yang dihadapi staf dan industri kesehatan sehingga para pemimpin dapat menawarkan solusi yang pada akhirnya menghasilkan perawatan pasien yang lebih baik,” kata Pim Preesman.