Jakarta – Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan bahwa Div Propam Polri telah memeriksa Brigjen NS yang diduga menyampaikan surat pemberitahuan kepada Dirjen Imigrasi tentang penghapusan nama Djoko Soegiarto Tjandra dari daftar red notice Interpol.
“Div Propam sudah memeriksa Pak NS dan belum selesai,” kata Irjen Argo di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis.
Dari hasil pemeriksaan sementara, NS diduga telah melanggar kode etik Polri.
Selain masih akan memeriksa NS, Propam juga akan memeriksa saksi-saksi lainnya.
“Propam masih periksa saksi-saksi lain yang mengetahui, memahami, melihat, mendengar terkait hal ini,” katanya
Sebelumnya Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane menyebut bahwa ada surat nomor: B/186/V/2020/NCB-Div HI tertanggal 5 Mei 2020 yang ditujukan ke Dirjen Imigrasi tentang informasi red notice Interpol atas nama Djoko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan RI.
Surat pemberitahuan tersebut ditandatangani oleh Brigjen NS selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia.
Red notice adalah permintaan untuk menemukan, menahan sementara seorang tersangka yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Red notice diterbitkan oleh Interpol atas permintaan dari Polri untuk membatasi perjalanan tersangka di luar negeri.
Djoko Tjandra yang merupakan Direktur PT Era Giat Prima terlibat kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang telah merugikan negara Rp904 miliar.
Djoko Tjandra meninggalkan Indonesia pada tahun 2009 saat Mahkamah Agung menjatuhkan vonis kepadanya.
Sejak buron, kabarnya simpang siur. Dia dikabarkan lari ke negara tetangga dan menjadi warga negara Papua Nugini.
Red notice dari Interpol atas nama Djoko Tjandra terbit pada 10 Juli 2009.
Pada 5 Mei 2020, Sekretaris NCB Interpol Indonesia memberitahukan bahwa red notice atas nama Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data sejak tahun 2014.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal itu dengan menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.
Kemudian pada 27 Juni 2020, Kejaksaan Agung meminta Djoko Tjandra dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO).
Ditjen Imigrasi pun memasukkan kembali nama Djoko Tjandra ke dalam sistem data perlintasan dengan status DPO.
Neta pun membeberkan, infirmasi pekerjaan Joko Tjandra sebagai Konsultan Bareskrim Polri. “Pantas saja dia mendapat keistimewaan luar biasa dan “karpet merah” oleh institusi Polri yang seharusnya menangkapnya,” sebutnya.
Hal tersebut menurutnya terungkap dalam Surat Keterangan Pemeriksaan Covid 19 Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri No: Sket Covid – 19/1561/VI/2020/Setkes tgl 19 Juni 2020 yang ditandatangani dr Hambektanuhita dari Pusdokkes. “Sangat ironis seorang buronan yang paling dicari bangsa Indonesia bukannya ditangkap Bareskrim Polri tapi malah dijadikan konsultan, dengan alamat juga di kantor Bareskrim di Jl Turonojoyo No 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Sungguh luar biasa kinerja Bareskrim Polri ini,” tulisnya dalam siaran pers.
Dari informasi yang diperoleh IPW saat ini, Joko Tjandra bahkan sudah berada di apartemennya di lantai 106 Apartement Exchange Kualalumpur, Malaysia. Joko Tjandra bersama dua orang lain kabur dengan jet pribadi yang diduga dari Halim Perdana Kusumah Jakarta langsung menuju Kuala Lumpur pada akhir Juni. Saat hendak naik ke atas jet pribadi tersebut, menurut Neta, ketiganya sempat berselfi ria dengan menunjukkan vis (simbol dua jari).
Dia menenambahkan, kesimpulan IPW menyatakan hal tersebut bukanlah akibat ulah pribadi dari oknum jenderal polisi di Bareskrim saja, seperti yang dikatakan Humas Polri.. “Tetapi hal ini akibat adalah persekongkolan jahat para jenderal polisi untuk melindungi dan memberi keistimewaan pada buronan kelas kakap yang paling dicari Bangsa Indonesia itu. Apakah persekongkolan jahat ini bisa dibongkar dan diusut tuntas, IPW tidak yakin,” tutup dia.