Penegakan hukum di bidang korupsi sudah sekian dekade digencarkan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), sebagai lembaga anti rasuah yang di bentuk berdasarkan UU KPK ini terasa super body sehingga banyak mendapat kritikan, terutama dari beberapa anggota dewan di Gedung Kura-Kura.
Ada yang mengkritik, sebagai Negara Kesatuan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, rasanya perlu melihat secara jernih kinerja KPK. Kususnya harapan adanya kontrol dengan fungsi pengawasan.
Untuk itu, sempat beredar permintan kepada Presiden selaku Kepala Negara, seyogyanya membentuk tim Khusus dalam mengawasi embaga tersebut.
Apa sebab? Memang Lembaga KPK adalah Lembaga yang yang berlandaskan hukum penegakan Korupsi, akan tetapi kinerja lembaga itu juga harus diawasi oleh Negara.
Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani lembaga tersebut, bahkan korupsi yang besar di negara ini. Tentu perlu menutup celah, agar KPK menjadi transparan.
Pertanyaannya selanjutnya, apakah semua penanganan Kasus Korupsi itu selesai dan sesuai dengan penegakan hukumnya? Pertanyaan ini perlu dijawab KPK secara transparan.
Bahkan ada pula wacana pembubaran KPK. Tapi apa daya, hasrat itu belum terwujud mengingat penilaian dari Kepolisian dan Kejaksaan masih belum maksimal.
Di sisi lain, meskipun kita dengar sudah banyak kita lihat penangkapan pejabat negara, anggota DPR, Menteri, kepala daerah, pengusaha, dan petinggi parpol, akan tetapi, praktik korupsi masih tumbuh segar di Negara tercinta ini. Apa yang salah?
Seperti apa sejarah berdirinya KPK?
KPK didirikan pada 2002 saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden ke-5 RI Megawati. Dengan salah satu alasan KPK dibentuk atas dasar kinerja kejaksaan dan kepolisian yang pada saat itu dirasa masih belum profesional dalam menangani kasus korupsi dan dinilai tidak mampu menangkap koruptor.
Sebelumnya, memang ide awal pembentukan KPK sudah sempat di wacanakan oleh Presiden Ke 3 RI BJ Habibie, yang mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN.
Habibie kemudian mengawalinya dengan membentuk berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU dan lembaga Ombusman.
Sementara di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibentuk berdasarkan Lemper semasa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Hakim Agung Andi Andiko.
Namun, ditengah semangat untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN pada saat itu.
Di era Putri Presiden Pertama RI, Mega mewujudkan semangat Pemberantasan Korupsi. Dengan disahkannya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat pemerintahannya, melahirkan lima pendekar Pemberantasan Korupsi perdana.
KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
KPK mempunyai empat tugas penting yakni, koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sementara dalam melaksanakan tugas koordinasi, KPK berwenang mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
Selanjutnya, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. KPK dipimpin oleh pemimpin KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota.
Pemimpin KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Untuk anggaran KPK sendiri bisa dibilang lumayan besar. Pada tahun 2016 sebesar Rp991,8 miliar, sedangkan pada 2017 berjumlah Rp734,2 miliar. Penurunan anggaran disebabkan oleh program efisiensi yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo
Namunbdari data selama enam tahun (periode 2009-2015), KPK hanya berhasil mengembalikan uang korupsi ke kas negara sebesar Rp 728.45 miliar. Padahal uang negara yang dipakai KPK untuk diminta menyelamatkan negara telah mencapai triliunan.
Dan, KPK mengajukan anggaran rencana kerja sebesar Rp 790.170.548.000 pada tahun 2018. KPK yang diwakili oleh Sekjen KPK, Bimo Gunung Abdul Kadir tak mengajukan usulan tambahan anggaran pada 2018.
Saya mencoba merangkum beberap kesimpulan atau keinginan dari Pansus di DPR soal keberadaan dan tugas KPK. Misalnya dalam fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga negara serta penegak hukum. KPK juga dinilai lebih mengedepankan penindakan daripada pencegahan.
Kemudian, KPK dianggap anti kritik. Dalam fungsi supervisi, KPK lebih cenderung menangani kasus tanpa koordinasi. Serta, diyakini kalangan dewan kalau tidak boleh ada penyidik independen di KPK.
Pansus juga mengkritik indikasi adanya friksi di KPK antara penyidik Polri dan independen. Juga terjadi ketidakharmonisan antara atasan dan bawahan.
Lalu, anggota dewan membeberkan keterangan dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, penggunaan anggaran KPK banyak yang belum dipertanggungjawabkan.
Terakhir terkait dugaan barang-barang rampasan KPK banyak yang tidak tercatat dan indikasi perlindungan saksi dan korban tidak sesuai dengan aturan.
Sementara dari penilaian Indonesia Corruption Watch, yaitu:
1. Panitia khusus tidak punya argumentasi yang valid. KPK diawasi oleh beberapa lembaga lain, seperti BPK dan DPR. Keputusan KPK dalam penetapan tersangka juga bisa dipraperadilankan.
2. Selama ini DPR mengawasi kinerja dalam bentuk rapat dengar pendapat.
3. KPK berkoordinasi dengan penegak hukum lain. Dalam situs web Anti-Corruption Clearing House hingga 31 Maret 2017, tercatat ada 290 perkara yang diusut KPK dengan koordinasi kejaksaan serta kepolisian.
4. KPK bekerja pada pencegahan dan penindakan.
5. KPK kerap membantu kepolisian dan kejaksaan membongkar praktik di lembaga tersebut.
6. Sebagai hukum lex specialis, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah sumber utama rambu-rambu KPK. Tugas pemberantasan korupsi adalah pekerjaan pembela HAM. Dan setiap hari raya, para tahanan diberi izin dijenguk oleh keluarga.
7. KPK berhak mengangkat pegawainya sendiri sesuai dengan Undang-Undang KPK.
Kesimpulan
KPK sama saja seperti lembaga penegak hukum lainnya, meski punya greget lebih dengan menggabungkan sistem penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara terpadu. Hal ini bisa pula dilakukan oleh kejaksaan.
Sayangnya, kejaksaan beberapa kali mengeluarkan maklumat SP3 dalam menghentikan kasus hukum sehingga dianggap malah jadi kurang transparan.
Dalam pengananan rasuah sendiri sudah ada Polri dan Kejaksaan. Sehingga, sinergi menjadi penting. Jangan hanya ego sentris dan saling unjuk gigi, sehingga malah membuat menghamburkan uang Negara dalam anggaran.
Bukan tidak menutup kemungkinan, adanya dugaan oknum dua penyidik KPK yang bermain mata dengan petinggi Negara. Ini perlu kita waspadai bersama. Begitu pula dengan main mata oknum Polri dan Kejaksaan tentu tak luput dari pengawasan bersama.
Orang yang ada KPK tentu juga manusia biasa, bukan malaikat, yang tidak luput dari salah dan dosa. Allahhu Alam.